CONTOH KHUTBAH
Nikmat dan Adzab Kubur
Wahai
para hamba Allah, sidang jum’at yang dimuliakan oleh Allah …
Al-Imam
Muslim telah meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنّ
الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ، وَتَوَلّىَ عَنْهُ أَصْحَابُهُ، إِنّهُ
لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ. يَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ فَيَقُولاَنِ
لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرّجُلِ ؟ فَأَمّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ:
أَشْهَدُ أَنّهُ عَبْدُ اللّهِ وَرَسُولُهُ. قَالَ: فَيُقَالُ لَهُ: “انْظُرْ
إِلَىَ مَقْعَدِكَ مِنَ النّارِ. قَدْ أَبْدَلَكَ اللّهُ بِهِ مَقْعَداً مِنَ
الْجَنّةِ” قَالَ نَبِيّ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: “فَيَرَاهُمَا جَمِيعاً”.
“Sesungguhnya seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburnya dan para pengantarnya telah kembali pulang, sunggguh dia akan mendengarkan gesekan sandal-sandal mereka. Datang kepadanya dua malaikat, maka keduanya mendudukkannya dan bertanya kepadanya, ‘Apa pendapatmu tentang orang ini (yakni nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)? Adapun seorang yang mukmin akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwasanya dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya’. Maka dinyatakan kepadanya, ‘Lihatlah kepada tempatmu di neraka, sungguh telah digantikan oleh Allah dengan sebuah tempat di surga.” Maka Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kemudian dia melihat kedua tempat tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya seorang hamba bila diletakkan di dalam kuburnya dan para pengantarnya telah kembali pulang, sunggguh dia akan mendengarkan gesekan sandal-sandal mereka. Datang kepadanya dua malaikat, maka keduanya mendudukkannya dan bertanya kepadanya, ‘Apa pendapatmu tentang orang ini (yakni nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)? Adapun seorang yang mukmin akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwasanya dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya’. Maka dinyatakan kepadanya, ‘Lihatlah kepada tempatmu di neraka, sungguh telah digantikan oleh Allah dengan sebuah tempat di surga.” Maka Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kemudian dia melihat kedua tempat tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ma’asyirol
muslimin rohimakumullah…
Hadits
ini menceritakan kepada kita bagaimana ‘pertanyaan yang terjadi di alam kubur’.
Adapun orang-orang yang beriman akan dikokohkan oleh Allah sewaktu mereka
ditanya di dalam kubur masing-masing. Itulah yang dinyatakan oleh Allah di
dalam Al-Quran yang mulia:
يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآَخِرَةِ
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
Permulaan
dari alam akhirat adalah alam barzakh (alam kubur). Oleh karena itu, seorang
yang beriman akan dikokohkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaan kubur,
sebagaimana di dalam hadits yang telah lalu.
bersabda:r, bahwa Rasulullah tDiriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim dari
hadits Al-Bara’ bin ‘Azib
(الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِي الْقَبْرِ: يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. فَذَلِكَ قَوْلُهُ: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ)
“Seorang hamba yang muslim bila ditanya di dalam kuburnya, niscaya dia akan bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. Maka itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: ‘ Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah mudahkan baginya untuk menjawab pertanyaan kubur dengan mengucapkan dua kalimat syahadat ’Laa Ilaha Illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah.
Perkara yang akan ditanyakan oleh dua malaikat kepada seorang hamba yang baru saja meninggal, bila telah selesai dikuburkan, ada tiga hal:
yang pertama: (مَنْ رَبُّكَ)
“Siapa Rabbmu”
yang kedua: (وَمَا دِيْنُكَ)
“Apa agamamu”
yang ketiga: (وَمَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِيْ بُعِثَ فِيْكُم)
“Siapa orang yang telah diutus di antara kalian ini?”
(الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِي الْقَبْرِ: يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. فَذَلِكَ قَوْلُهُ: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ)
“Seorang hamba yang muslim bila ditanya di dalam kuburnya, niscaya dia akan bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. Maka itulah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: ‘ Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah mudahkan baginya untuk menjawab pertanyaan kubur dengan mengucapkan dua kalimat syahadat ’Laa Ilaha Illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah.
Perkara yang akan ditanyakan oleh dua malaikat kepada seorang hamba yang baru saja meninggal, bila telah selesai dikuburkan, ada tiga hal:
yang pertama: (مَنْ رَبُّكَ)
“Siapa Rabbmu”
yang kedua: (وَمَا دِيْنُكَ)
“Apa agamamu”
yang ketiga: (وَمَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِيْ بُعِثَ فِيْكُم)
“Siapa orang yang telah diutus di antara kalian ini?”
Maka
seorang yang mukmin akan menjawab: “Rabku adalah Allah, agamaku adalah Islam,
sedangkan orang ini adalah Muhammad utusan Allah.” Lalu ditanyakan kepadanya:
“Apa yang memberitahumu mengenai jawaban ini?” Dia menjawab: “Aku membaca
Al-Qur’an, beriman kepadanya, dan membenarkannya.”
Dengan demikian, seorang yang mukmin selamat dari siksa kubur karena bisa menjawab pertanyaan dua malaikat yang datang kepadanya itu. Berbeda dengan seorang yang kafir ketika ditanya: “Siapa Rabmu? Apa agamamu? Siapa orang yang telah diutus di antara kalian ini?” Dia hanya bisa menjawab: “Ha..ha.. aku tidak tahu.” Inilah keadaan seorang yang kafir sewaktu ditanya di dalam kuburnya.
Dengan demikian, seorang yang mukmin selamat dari siksa kubur karena bisa menjawab pertanyaan dua malaikat yang datang kepadanya itu. Berbeda dengan seorang yang kafir ketika ditanya: “Siapa Rabmu? Apa agamamu? Siapa orang yang telah diutus di antara kalian ini?” Dia hanya bisa menjawab: “Ha..ha.. aku tidak tahu.” Inilah keadaan seorang yang kafir sewaktu ditanya di dalam kuburnya.
Itulah
fitnah kubur, yaitu pertanyaan dua malaikat yang dihadapkan kepada seorang yang
baru saja meninggal. Dua malaikat yang menanyai seorang yang baru saja
meninggal disebut dengan Munkar dan Nakir. Sebagaimana hal ini terdapat di
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam
At-Turmudzi dengan sanad yang hasan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إِذَا
قُبِرَ الْمَيِّتُ، أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ. يُقَالُ
لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَاْلآخَرُ النَّكِيْرُ
“Apabila
seorang hamba telah diletakkan di dalam kuburnya, datanglah kepadanya dua
malaikat yang hitam dan biru. Salah satunya disebut Al-Munkar dan yang lain
disebut An-Nakir.” (HR. At-Turmudzi dan dihasankan oleh syaikh Al AlBani dalam
tahqiqnya atas ”Syarh Aqidah Thahawiyyah” hal. 399)
Maka ini
adalah nama dua malaikat yang akan menanyai seorang yang baru saja dikubur.
Keduanya akan bertanya tentang “Siapa Rabmu, apa agamamu, dan siapa orang yang
telah diutus di antara kalian ini?”
Seorang yang mukmin setelah bisa menjawab pertanyaan dua malaikat itu, maka dia akan memperoleh nikmat kubur. Adapun seorang yang kafir, ketika tidak bisa menjawabnya, maka dia akan dihadapkan kepada adzab kubur.
Seorang yang mukmin setelah bisa menjawab pertanyaan dua malaikat itu, maka dia akan memperoleh nikmat kubur. Adapun seorang yang kafir, ketika tidak bisa menjawabnya, maka dia akan dihadapkan kepada adzab kubur.
Ma’asyirol
muslimin rohimakumullah…
Di sini
para ulama berselisih pendapat: Apakah pertanyaan kubur hanya khusus pada umat
ini atau juga umum pada umat-umat yang sebelumnya?
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, bahwa pertanyaan kubur berlaku umum pada seluruh umat dari yang pertama sampai yang terakhir. Pendapat ini telah dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah di dalam kitabnya ”Syarh Lum’atil I’tiqod”( hal. 112)
Kemudian terjadi pula perselisihan di kalangan para ulama: Apakah pertanyaan ini bagi orang-orang yang mukallaf saja atau juga bagi orang-orang yang tidak mukallaf seperti anak kecil dan orang gila yang meninggal?
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, bahwa pertanyaan kubur mencakup semuanya. Baik yang mukallaf atau tidak mukallaf. Maka pertanyaan kubur itu juga diarahkan bagi anak kecil dan orang gila yang meninggal, karena keumuman dalil-dalil yang berbicara tentang pertanyaan kubur. Demikian pula dikuatkan dengan dalil bahwa anak kecil atau orang gila yang meninggal dari kalangan muslimin, diperintahkan kepada kita untuk menshalatkan dan mendoakannya agar dilindungi oleh Allah dari adzab kubur. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga mendapatkan ‘pertanyaan kubur’.
Oleh sebab itu, Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ar-Ruh yang dinisbatkan kepada beliau, menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa pertanyaan kubur berlaku secara umum, baik bagi yang mukallaf maupun tidak.
Adapun mengenai pertanyaan kubur: Apakah khusus bagi kaum mukminin saja atau juga umum meliputi orang-orang kafir? Menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama, bahwa pertanyaan kubur meliputi kaum mukminin dan orang-orang kafir secara umum. Banyak dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang mengasumsikan kepada kita bahwa orang-orang kafir juga akan ditanya oleh dua malaikat di dalam kubur mereka. Di antaranya adalah hadits yang telah kita bacakan sebelumnya yaitu hadits Al-Bara’ bin ’Azib yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu, Dawud, An Nasai, Ibnu Majah dan yang selainnya.
Wallahu a’lam bish shawab
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, bahwa pertanyaan kubur berlaku umum pada seluruh umat dari yang pertama sampai yang terakhir. Pendapat ini telah dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah di dalam kitabnya ”Syarh Lum’atil I’tiqod”( hal. 112)
Kemudian terjadi pula perselisihan di kalangan para ulama: Apakah pertanyaan ini bagi orang-orang yang mukallaf saja atau juga bagi orang-orang yang tidak mukallaf seperti anak kecil dan orang gila yang meninggal?
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, bahwa pertanyaan kubur mencakup semuanya. Baik yang mukallaf atau tidak mukallaf. Maka pertanyaan kubur itu juga diarahkan bagi anak kecil dan orang gila yang meninggal, karena keumuman dalil-dalil yang berbicara tentang pertanyaan kubur. Demikian pula dikuatkan dengan dalil bahwa anak kecil atau orang gila yang meninggal dari kalangan muslimin, diperintahkan kepada kita untuk menshalatkan dan mendoakannya agar dilindungi oleh Allah dari adzab kubur. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga mendapatkan ‘pertanyaan kubur’.
Oleh sebab itu, Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Ar-Ruh yang dinisbatkan kepada beliau, menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa pertanyaan kubur berlaku secara umum, baik bagi yang mukallaf maupun tidak.
Adapun mengenai pertanyaan kubur: Apakah khusus bagi kaum mukminin saja atau juga umum meliputi orang-orang kafir? Menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama, bahwa pertanyaan kubur meliputi kaum mukminin dan orang-orang kafir secara umum. Banyak dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang mengasumsikan kepada kita bahwa orang-orang kafir juga akan ditanya oleh dua malaikat di dalam kubur mereka. Di antaranya adalah hadits yang telah kita bacakan sebelumnya yaitu hadits Al-Bara’ bin ’Azib yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu, Dawud, An Nasai, Ibnu Majah dan yang selainnya.
Wallahu a’lam bish shawab
Perjalanan Ruh ketika Meninggalkan Dunia
Wahai
para hamba Allah, sidang jum’at yang dimuliakan oleh Allah . . .
Al-Imam
Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah, serta yang selainnya, telah
meriwayatkan dari hadits Al-Baro’ bin ‘Azib, bahwa suatu ketika para sahabat
berada di pekuburan Baqi’ul ghorqod. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mendatangi mereka. Beliau pun duduk. Sementara para sahabat duduk
disekitarnya dengan tenang tanpa mengeluarkan suara, seakan-akan di atas kepala
mereka ada burung. Beliau sedang menanti penggalian kubur seorang yang baru
saja meninggal.
Ma’asyirol
muslimin rahimakumullah…
Ini
menunjukkan bahwa tatkala seorang hamba berada di pekuburan, dituntunkan
kepadanya untuk bersikap tenang, diam, hening, dan tidak mengucapkan
dzikir-dzikir dengan suara yang keras. Terlebih lagi berbicara mengenai urusan-urusan
dunia yang fana. Dalam suasana yang seperti ini, hendaknya dia berpikir tentang
kematian yang akan menimpa setiap manusia tanpa terkecuali. Sudahkah dia
berbekal diri untuk menghadapinya. Ini membutuhkan perenungan yang dalam,
sehingga melahirkan keimanan, ketakwaan, dan amal sholeh yang diterima disisi
Allah.
Ma’asyirol
muslimin rahimakumullah…
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya dan mengucapkan:
أعوذ
بِاللّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْر
“Aku berlindung kepada Allah dari adzab kubur.”
“Aku berlindung kepada Allah dari adzab kubur.”
Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
bila seorang yang mukmin menghadap ke alam akhirat dan meninggalkan alam dunia,
turun kepadanya sejumlah malaikat berwajah putih yang seolah-olah seperti
matahari. Mereka membawa sebuah kain kafan dan minyak wangi dari surga. Mereka
pun duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat pencabut
nyawa dan duduk di dekat kepalanya. Malaikat pencabut nyawa berkata:
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطيبة، أخرجي إلي مغفرة من الله و رضوان
“Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau kepada keampunan dan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau kepada keampunan dan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Maka
nyawanya keluar dan mengalir seperti air yang mengucur dari mulut wadah. Lalu
malaikat pencabut nyawa mengambilnya. Nyawanya tidak dibiarkan sekejap mata pun
berada di tangan malaikat pencabut nyawa dan segera diambil oleh para malaikat
yang berwajah putih tadi. Kemudian mereka meletakkannya pada kain kafan dan
minyak wangi surga yang telah mereka bawa. Maka nyawanya mengeluarkan aroma
minyak wangi misik yang paling terbaik di muka bumi. Lalu mereka menyertainya
untuk naik ke langit. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan
para malaikat itu akan bertanya: “Siapakah nyawa yang baik ini?” Mereka
menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan”, dan disebutkan namanya yang paling
terbaik ketika mereka memanggilnya di dunia.
Tatkala
mereka telah sampai membawanya kelangit, mereka meminta agar pintu langit
dibukakan untuknya. Maka dari setiap langit dia diiringi oleh para penjaganya
sampai ke langit berikutnya. Demikianlah yang akan terjadi hingga dia sampai ke
langit yang disana ada Allah. Maka Allah berfirman:
اكتبوا
كتاب عبدي في عليين, و أعيدوه إلى الأرض, فإني منها خلقتهم, وفيها أعيدهم, و منها
أخرجهم تارة أخرى
“Catatlah oleh kalian bahwa hambaku (ini) berada di surga ‘illiyyin, dan (sekarang) kembalikanlah dia ke muka bumi. Sungguh darinya Aku telah menciptakan mereka, dan padanya Aku akan mengembalikan mereka, serta darinya pula Aku akan mengeluarkan mereka sekali lagi”.
“Catatlah oleh kalian bahwa hambaku (ini) berada di surga ‘illiyyin, dan (sekarang) kembalikanlah dia ke muka bumi. Sungguh darinya Aku telah menciptakan mereka, dan padanya Aku akan mengembalikan mereka, serta darinya pula Aku akan mengeluarkan mereka sekali lagi”.
Kemudian
nyawanya dikembalikan ke dalam jasadnya. Lalu datanglah dua orang malaikat
kepadanya. Keduanya bertanya, siapa Rabbmu? Maka dia menjawab, Rabbku adalah
Allah. Keduanya kembali bertanya, apa agamamu? Maka dia menjawab, agamaku
adalah islam. Keduanya kembali bertanya, siapa orang yang telah diutus di
tengah kalian ini? Maka dia menjawab, beliau adalah utusan Allah. Keduanya
kembali bertanya, siapakah yang telah mengajarimu? Maka dia menjawab, aku
membaca kitab Allah, beriman kepadanya dan membenarkannya.
Kemudian
terdengarlah suara yang menyeru dari langit, “Hambaku ini telah benar.
Bentangkanlah untuknya permadani dari surga dan bukakanlah sebuah pintu ke
surga”.
Maka harum wangi surga pun menerpanya dan kuburnya diperluas sejauh mata memandang. Lalu datang kepadanya seorang yang bagus wajahnya, pakainnya, dan harum wanginya. Orang itu berkata, bergembiralah dengan segala yang akan menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu engkau telah dijanjikan. Maka si mukmin bertanya kepadanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan membawa kebaikan.” Dia pun menjawab, “Aku adalah amalmu yang sholih.” Lalu si mukmin berkata, “Wahai Rabbku! Segerakanlah hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan hartaku”.
Maka harum wangi surga pun menerpanya dan kuburnya diperluas sejauh mata memandang. Lalu datang kepadanya seorang yang bagus wajahnya, pakainnya, dan harum wanginya. Orang itu berkata, bergembiralah dengan segala yang akan menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu engkau telah dijanjikan. Maka si mukmin bertanya kepadanya, “Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan membawa kebaikan.” Dia pun menjawab, “Aku adalah amalmu yang sholih.” Lalu si mukmin berkata, “Wahai Rabbku! Segerakanlah hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan hartaku”.
Selanjutnya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Adapun
bila seorang yang kafir meninggalkan alam dunia dan menghadap ke alam akhirat,
turun kepadanya dari langit sejumlah malaikat yang berwajah hitam legam. Mereka
membawa sebuah kain kafan yang buruk dan kasar. Mereka pun duduk di dekatnya
sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat pencabut nyawa dan duduk di
dekat kepalanya. Malaikat pencabut nyawa berkata,
“Wahai
jiwa yang buruk, keluarlah engkau kepada kemurkaan dan kemarahan Allah”.
Maka
nyawanya tercerai berai di dalam jasadnya. Kemudian malaikat pencabut nyawa
merenggut nyawanya seperti mencabut besi pemanggang daging dari bulu domba yang
basah. Setelah malaikat pencabut nyawa mengambilnya, tidak dibiarkan sekejap
mata pun berada di tangannya dan segera diambil oleh para malaikat yang
berwajah hitam legam tadi. Lalu mereka meletakkannya pada kain kafan (yang
telah mereka bawa) itu. Sehingga keluarlah dari nyawanya seperti bau yang
sangat busuk di atas muka bumi.
Kemudian mereka naik bersamanya. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan para malaikat itu akan bertanya, siapakah nyawa yang buruk ini? Mereka menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan” dan disebutkan namanya yang paling terburuk ketika mereka memanggilnya di dunia.
Kemudian mereka naik bersamanya. Tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan para malaikat itu akan bertanya, siapakah nyawa yang buruk ini? Mereka menjawab: “Ini adalah Fulan bin Fulan” dan disebutkan namanya yang paling terburuk ketika mereka memanggilnya di dunia.
Kemudian
mereka membawanya naik sampai ke langit dunia dan dimintakan agar pintu langit
di bukakan untuknya. Namun pintu langit tidak dibukakan untuknya”.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat yang berbunyi,
لَا
تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى
يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ
“Tidak
akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga
sampai onta bisa masuk ke dalam lubang jarum.” (QS. Al-A’rof: 40)
Selanjutnya
Allah Azza wa jalla berfirman,
“Catatlah
oleh kalian bahwa ketetapannya berada di (neraka) Sijjiin, di bumi yang paling
bawah”.
Setelah
itu, nyawanya benar-benar dilemparkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam membaca ayat yang berbunyi,
“Barangsiapa
yang berbuat syirik kepada Allah, Maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu
disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh”. (surat
Al Hajj:ayat 31)
Demikianlah,
nyawanya dikembalikan kedalam jasadnya. Maka dua orang malaikat mendatanginya
lalu mendudukkannya. Keduanya bertanya, “Siapa Rabbmu?” Dia menjawab, “Hah..
hah..aku tidak tahu”. Keduanya kembali bertanya, “Siapa orang yang telah diutus
ditengah kalian ini?” Dia menjawab, “Hah..hah..aku tidak tahu.” Kemudian
terdengarlah suara yang menyeru dari langit, “Dia telah berdusta, bentangkanlah
untuknya permadani dari api neraka dan bukakanlah sebuah pintu ke neraka.”
Sehingga hawa panas dan racun neraka pun menerpanya dan kuburnya dipersempit
sampai tulang-tulang rusuknya saling bergeser. Lalu datang kepadanya seorang
yang buruk wajahnya, pakainnya, dan busuk baunya. Orang itu berkata,
“Bergembiralah dengan segala yang akan memperburuk keadanmu. Ini adalah hari
yang dahulu engkau telah dijanjikan.” Maka si kafir bertanya, “Siapakah engkau?
Wajahmu adalah wajah yang datang dengan membawa keburukan.” Dia pun menjawab,
“Aku adalah amalmu yang buruk.” Lalu si kafir berkata, “Wahai Rabbbku!
Janganlah engkau datangkan hari kiamat”.
Hadits
ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkamul
Janaiz” (hal. 156-157) dan tahqiq beliau terhadap “Syarh Aqidah Thahawiyyah”
(hal. 397-398).
Ma’asyirol
muslimin rahimakumullah…
Inilah
keadaan seorang yang mukmin dan seorang yang kafir tatkala meninggalkan alam
dunia dan masuk ke dalam alam akhirat yang dimulai dengan alam barzakh (alam
kubur). Wallahu a’lam bi showab
Kemulian Rasa Malu
Rasa malu
merupakan sifat yang mulia, warisan dari para nabi ‘alaihimus salam. Oleh
karena itu, Sifat yang agung ini telah diwarisi secara turun temurun oleh
orang-orang shalih dari satu umat kepada umat yang lainnya. Dari satu generasi
kepada generasi yang berikutnya. Demikianlah, sampai ajaran rasa malu itu
diwarisi oleh pendahulu umat ini yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam
hadits Abu Mas’ud Al-Anshary, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, disebutkan
bahwa rRasulullah bersabda:
(إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ).
“Sesungguhnya termasuk yang masih didapatkan oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka.” (HR. Al-Bukhari)
(إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ).
“Sesungguhnya termasuk yang masih didapatkan oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka.” (HR. Al-Bukhari)
Rasa malu
adalah sifat yang mulia. Rasa malu, seluruhnya adalah kebaikan. Rasulullah
merupakan profile yang menjadi panutan dan tauladan dalam perihal rasa malu.
Bahkan sampai disebutkan bahwa beliau lebih pemalu dari gadis pingitan yang
berada dalam kamarnya. Demikianlah . Lebih daripada itu, para malaikat juga
memiliki rasarRasulullah rmalu. Sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah hadits ketika Rasulullah
ditemui oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Waktu itu, tersingkap bagian pahanya sehingga terbuka.
Maka beliau punrRasulullah rbergegas membenahi dirinya
tatkala utsman masuk kepadanya. Rasulullah
pun ditanya tentang sikapnya yang demikian, maka beliau menjawab:
أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Bagaimana aku tidak malu kepada seseorang yang para malaikat pun merasa malu kepadanya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu merupakan sifat para malaikat.
Maka sebagaimana dalam hadist Abu Mas’ud Al Anshary diatas, bahwa orang yang tidak punya rasa malu, dia akan terjatuh pada perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun dalam tinjaun adat kebiasan manusia.
Pernyataan beliau shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya:
“apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engakau suka”.
Di kalangan para ulama, ada tiga pengertian dalam memahaminya:
Pengertian yang pertama:
sebagian ulama memahami bahwa maksud perintah di sini “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, adalah sebagai ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka, sesungguhnya Allah yang akan membalas perbuatanmu. Hal ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Fushilat: 40)
Maksud ayat ini adalah ancaman. Yakni Allah yang akan melihat dan mengawasi apa yang kalian kerjakan, maka perbuatlah apa yang kalian kehendaki. Niscaya Allah akan menghitung dan membalas perbuatan kalian itu. Maka menurut pendapat ini bahwa makna hadits diatas adalah ancaman. Berarti perintah berbuat sesuka hati bila tidak memiliki rasa malu merupakan ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengertian yang kedua:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah untuk pembolehan. Artinya, jika engkau tidak malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka lakukanlah apa yang engkau suka tersebut, Karena hal itu menunjukkan akan kebolehannya. Namun jika engkau malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka janganlah engkau melakukannya”. Ini adalah pendapat Imam An Nawawi rahimahullah.
Pengertian yang ketiga:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah pemberitaan. Artinya, pernyataan: ”apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, merupakan pemberitaan bahwa orang yang tidak punya rasa malu akan melakukan segala perkara yang baik maupun buruk. :rSeperti sabda Rasulullah
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Ini bukan perintah yang menunjukkan kewajiban. Tetapi perintah yang rbermakna pemberitaan bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah berarti dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. Demikian pula dalam hadits ini bahwa orang yang tidak punya rasa malu, niscaya dia akan berbuat sesukanya. Barangkali dia akan melakukan perkara yang maksiat, jelek, keji, bahkan bisa jadi kekafiran dan kesyirikan sekalipun, karena dia tidak lagi punya rasa malu.
rAl-Khaththabi rahimahullah menerangkan mengapa Rasulullah memberitakannya dengan kata perintah. Beliau rahimahullah berkata: “Ketika rasa malu itu mencegah dari perbuatan yang jelek, maka orang yang tidak punya rasa malu, seolah-olah dia diperintah oleh tabiatnya di siniruntuk berbuat sesukanya. Oleh karena itu, Rasulullah menggunakan kata perintah dan tidak menggunakan kata yang menunjukkan pemberitaan”.
(lihat Fathul Baari oleh Ibnu Hajar Al ’Asqolaani rahimahullah 3/139)
أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Bagaimana aku tidak malu kepada seseorang yang para malaikat pun merasa malu kepadanya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu merupakan sifat para malaikat.
Maka sebagaimana dalam hadist Abu Mas’ud Al Anshary diatas, bahwa orang yang tidak punya rasa malu, dia akan terjatuh pada perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun dalam tinjaun adat kebiasan manusia.
Pernyataan beliau shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya:
“apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engakau suka”.
Di kalangan para ulama, ada tiga pengertian dalam memahaminya:
Pengertian yang pertama:
sebagian ulama memahami bahwa maksud perintah di sini “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, adalah sebagai ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka, sesungguhnya Allah yang akan membalas perbuatanmu. Hal ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Fushilat: 40)
Maksud ayat ini adalah ancaman. Yakni Allah yang akan melihat dan mengawasi apa yang kalian kerjakan, maka perbuatlah apa yang kalian kehendaki. Niscaya Allah akan menghitung dan membalas perbuatan kalian itu. Maka menurut pendapat ini bahwa makna hadits diatas adalah ancaman. Berarti perintah berbuat sesuka hati bila tidak memiliki rasa malu merupakan ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengertian yang kedua:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah untuk pembolehan. Artinya, jika engkau tidak malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka lakukanlah apa yang engkau suka tersebut, Karena hal itu menunjukkan akan kebolehannya. Namun jika engkau malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka janganlah engkau melakukannya”. Ini adalah pendapat Imam An Nawawi rahimahullah.
Pengertian yang ketiga:
menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah pemberitaan. Artinya, pernyataan: ”apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, merupakan pemberitaan bahwa orang yang tidak punya rasa malu akan melakukan segala perkara yang baik maupun buruk. :rSeperti sabda Rasulullah
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Ini bukan perintah yang menunjukkan kewajiban. Tetapi perintah yang rbermakna pemberitaan bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah berarti dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. Demikian pula dalam hadits ini bahwa orang yang tidak punya rasa malu, niscaya dia akan berbuat sesukanya. Barangkali dia akan melakukan perkara yang maksiat, jelek, keji, bahkan bisa jadi kekafiran dan kesyirikan sekalipun, karena dia tidak lagi punya rasa malu.
rAl-Khaththabi rahimahullah menerangkan mengapa Rasulullah memberitakannya dengan kata perintah. Beliau rahimahullah berkata: “Ketika rasa malu itu mencegah dari perbuatan yang jelek, maka orang yang tidak punya rasa malu, seolah-olah dia diperintah oleh tabiatnya di siniruntuk berbuat sesukanya. Oleh karena itu, Rasulullah menggunakan kata perintah dan tidak menggunakan kata yang menunjukkan pemberitaan”.
(lihat Fathul Baari oleh Ibnu Hajar Al ’Asqolaani rahimahullah 3/139)
Rasa malu
adalah akhlak yang mulia, akhlak yang dimiliki oleh orang-orang yang baik.
Setiap orang yang memiliki rasa malu niscaya akan tercegah dari perkara-perkara
yang buruk dan jelek yang dimurka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
serta dibenci oleh manusia.
Rasa malu itu sendiri terbagi dua. Ada rasa malu yang menjadi sifat pembawaan atau tabiat yang merupakan karunia dan pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini diistilahkan dengan rasa malu yang tidak diupayakan. Bisa jadi ada sebagian orang yang meninggalkan perkara-perkara yang buruk dan jelek bukan karena dia paham dan komitmen kepada agamanya. Akan tetapi lebih disebabkan rasa malu untuk melakukannya. Sehingga dia meninggalkannya bukan karena dorongan agama tapi disebabkan faktor rasa malu yang memang Allah ciptakan pada dirinya. Tabiat ini merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha memiliki keutamaan yang besar.
Rasa malu yang kedua adalah rasa malu yang bisa diupayakan. Maksudnya adalah rasa malu yang lahir karena merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bisa tewujud karena mengenal dzat Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat Nya yang Maha mulia dan agung. Dia malu kalau Allah melihatnya berbuat keburukan dan kejelekan. Maka dia berupaya menghindari perkara-perkara yang buruk dan jelek disebabkan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun secara tabi’at dan watak, dia bisa dan mungkin biasa melakukan keburukan dan kejelekan tersebut. Ini namanya rasa malu yang diupayakan dan yang dimaksud oleh :rsabda Rasulullah
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Rasa malu itu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
– sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma-rRasulullah pernah melewati seseorang dari kalangan anshar yang tengah menasihati bersbda:rsaudaranya mengenai rasa malu. Maka Rasulullah
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasa malu yang termasuk dari keimanan adalah rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apa pun keadaannya, seorang yang punya rasa malu secara tabiat dan kepribadian, memiliki modal dasar untuk menuju rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika rasa malu itu dicabut dari seseorang, baik rasa malu secara tabiat dan kepribadian maupun rasa malu yang memang disyari’atkan, maka akan lenyap berbagai kebaikan dari dirinya. Dia akan jatuh pada perbuatan-perbuatan yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun secara adat kebiasaan manusia.
Namun di sana sesungguhnya ada rasa malu yang tercela. Rasa malu yang tercela –sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang selainnya- yaitu rasa malu yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban. Seseorang merasa malu dalam menuntut ilmu sehingga dia mengalami kebodohan dalam agamanya. Seseorang merasa malu untuk beribadah kepada Allah sehingga dia tidak menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Seseorang merasa malu untuk menunaikan hak dirinya, hak keluarganya, hak kaum muslimin. Maka semua rasa malu itu adalah rasa malu yang tercela. Karena rasa malu yang seperti ini merupakan kelemahan dan kecerobohan.
(lihat Fathul Baari 3/138)
Sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لا يأتي إلا بخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak membawa kecuali kepada kebaikan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
yaitu rasa malu yang membawa kepada keimanan serta tidak melalaikan hak dan kewajiban.
Lalu mengapa rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan disebut sebagai rasa malu? Hal itu karena rasa malu ini menyerupai rasa malu yang yang disyari’atkan. Padahal hakekatnya, rasa malu yang menghalangi dari kebaikan adalah tercela di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka orang yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirika, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk.
Kita memohon kepada Allah keselamatan dan keampunan.
Rasa malu itu sendiri terbagi dua. Ada rasa malu yang menjadi sifat pembawaan atau tabiat yang merupakan karunia dan pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini diistilahkan dengan rasa malu yang tidak diupayakan. Bisa jadi ada sebagian orang yang meninggalkan perkara-perkara yang buruk dan jelek bukan karena dia paham dan komitmen kepada agamanya. Akan tetapi lebih disebabkan rasa malu untuk melakukannya. Sehingga dia meninggalkannya bukan karena dorongan agama tapi disebabkan faktor rasa malu yang memang Allah ciptakan pada dirinya. Tabiat ini merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha memiliki keutamaan yang besar.
Rasa malu yang kedua adalah rasa malu yang bisa diupayakan. Maksudnya adalah rasa malu yang lahir karena merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bisa tewujud karena mengenal dzat Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat Nya yang Maha mulia dan agung. Dia malu kalau Allah melihatnya berbuat keburukan dan kejelekan. Maka dia berupaya menghindari perkara-perkara yang buruk dan jelek disebabkan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun secara tabi’at dan watak, dia bisa dan mungkin biasa melakukan keburukan dan kejelekan tersebut. Ini namanya rasa malu yang diupayakan dan yang dimaksud oleh :rsabda Rasulullah
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Rasa malu itu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
– sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma-rRasulullah pernah melewati seseorang dari kalangan anshar yang tengah menasihati bersbda:rsaudaranya mengenai rasa malu. Maka Rasulullah
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasa malu yang termasuk dari keimanan adalah rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apa pun keadaannya, seorang yang punya rasa malu secara tabiat dan kepribadian, memiliki modal dasar untuk menuju rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika rasa malu itu dicabut dari seseorang, baik rasa malu secara tabiat dan kepribadian maupun rasa malu yang memang disyari’atkan, maka akan lenyap berbagai kebaikan dari dirinya. Dia akan jatuh pada perbuatan-perbuatan yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun secara adat kebiasaan manusia.
Namun di sana sesungguhnya ada rasa malu yang tercela. Rasa malu yang tercela –sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang selainnya- yaitu rasa malu yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban. Seseorang merasa malu dalam menuntut ilmu sehingga dia mengalami kebodohan dalam agamanya. Seseorang merasa malu untuk beribadah kepada Allah sehingga dia tidak menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Seseorang merasa malu untuk menunaikan hak dirinya, hak keluarganya, hak kaum muslimin. Maka semua rasa malu itu adalah rasa malu yang tercela. Karena rasa malu yang seperti ini merupakan kelemahan dan kecerobohan.
(lihat Fathul Baari 3/138)
Sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْحَيَاءُ لا يأتي إلا بخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidak membawa kecuali kepada kebaikan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
yaitu rasa malu yang membawa kepada keimanan serta tidak melalaikan hak dan kewajiban.
Lalu mengapa rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan disebut sebagai rasa malu? Hal itu karena rasa malu ini menyerupai rasa malu yang yang disyari’atkan. Padahal hakekatnya, rasa malu yang menghalangi dari kebaikan adalah tercela di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka orang yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirika, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk.
Kita memohon kepada Allah keselamatan dan keampunan.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Nestapa Pengekor Hawa Nafsu
Sesungguhnya di dunia ini bagi manusia hanya ada
dua jalan; jalan kebenaran dan jalan hawa nafsu. Jalan kebenaran adalah
petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan hawa nafsu
merupakan jalan yang diprakarsai oleh setan sebagai musuh manusia guna menimbun
bahan bakar api neraka pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alihi wasallam tatkala menerangkan tentang petunjuk,
acap kali mengingatkan pula tentang bahaya hawa nafsu.
Hawa nafsu berarti ‘kecenderungan manusia kepada perkara yang di suka oleh jiwanya’. Hawa nafsu yang tercela adalah hawa nafsu yang menyelisihi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para salaf menggelari sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu atau ibadah sebagai pengikut hawa nafsu, karena mereka menyelisihi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Petunjuk Allah yaitu ilmu agama yang diwahyukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Nabi Dawud ’alaihis salam:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari rabies pada seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh pengidapnya tetapi lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad manusia maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya. Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita. Pada akhirnya, dia tak lagi mampu menerima petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam menghadapi hawa nafsu sangat dibutuhkan kesabaran. Seorang yang ingin bertahan di atas jalan Allah harus memiliki nyali yang besar untuk melawan hawa nafsu. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya, dan urusannya itu melempui batas.” (Al-Kahfi: 28)
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tak ada jalan yang ketiga bagi manusia. Di sana hanya ada dua jalan yaitu jalan kebenaran dan jalan hawa nafsu.
Melawan hawa nafsu berarti mengikuti jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kesabaran. Yaitu kesabaran bersama orang-orang yang ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak membebek kepada orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu. Karena mereka bisa saja menjadi sesat walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu, (yang mana) Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya lalu meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah?” (Al-Jatsiyah: 23)
Semua ini menunjukkan bahaya hawa nafsu bagi manusia. Semoga Allah menyelamatkan kita dari cengkraman maut berbagai hawa nafsu.
Hawa nafsu berarti ‘kecenderungan manusia kepada perkara yang di suka oleh jiwanya’. Hawa nafsu yang tercela adalah hawa nafsu yang menyelisihi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para salaf menggelari sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu atau ibadah sebagai pengikut hawa nafsu, karena mereka menyelisihi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Petunjuk Allah yaitu ilmu agama yang diwahyukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Nabi Dawud ’alaihis salam:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Hawa nafsu menjalar pada diri seseorang laksana sebuah penyakit yang sangat ganas, bahkan lebih berbahaya dari rabies pada seekor anjing. Hawa nafsu lebih berbahaya karena tidak disadari oleh pengidapnya tetapi lebih mematikan. Jika rabies dapat membinasakan jasad manusia maka hawa nafsu bisa menghancurkan jiwanya. Sehingga hatinya pun mati dan gelap gulita. Pada akhirnya, dia tak lagi mampu menerima petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam menghadapi hawa nafsu sangat dibutuhkan kesabaran. Seorang yang ingin bertahan di atas jalan Allah harus memiliki nyali yang besar untuk melawan hawa nafsu. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya, dan urusannya itu melempui batas.” (Al-Kahfi: 28)
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tak ada jalan yang ketiga bagi manusia. Di sana hanya ada dua jalan yaitu jalan kebenaran dan jalan hawa nafsu.
Melawan hawa nafsu berarti mengikuti jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kesabaran. Yaitu kesabaran bersama orang-orang yang ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak membebek kepada orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan bahwa hawa nafsu merupakan bahaya laten bagi orang-orang yang berilmu. Karena mereka bisa saja menjadi sesat walaupun berilmu. Sebabnya tak lain adalah karena mengikuti hawa nafsu. Sehingga ilmu yang turun dari Allah tak mampu membuatnya teguh di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu, (yang mana) Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya lalu meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah?” (Al-Jatsiyah: 23)
Semua ini menunjukkan bahaya hawa nafsu bagi manusia. Semoga Allah menyelamatkan kita dari cengkraman maut berbagai hawa nafsu.
Berbicara
mengenai hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan sejumlah dalil Al-Qur’an maupun
As-sunnah yang membeberkan tentang betapa tercelanya hawa nafsu. Oleh karena
itu, sangat penting sekali bagi kita untuk berhati-hati terhadap hawa nafsu.
Karena setiap detik, setiap menit, dan setiap waktu, kita terancam dengan hawa
nafsu. Jika kita tidak mewaspadai hawa nafsu, maka kita akan terjebak dengan
jeratnya tanpa kita sadari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan dalam hadits bahwa termasuk yang dikhawatirkan atas umatnya adalah ‘hawa nafsu yang bisa menyesatkan’. Sudah berapa banyak, kalau kita mau menghitung, orang-orang yang menjadi korban hawa nafsu.
Sebagai bukti autentik yang bisa kita ungkap yaitu keberadaan ahlus sunnah yang demikian sedikit. Realita ini menandaskan bahwa yang selain ahlus sunnah dalam jumlah besar adalah orang-orang yang termakan oleh hawa nafsu. Namun kadar diantara mereka tentunya berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang banyak, dan ada pula yang sedikit.
Orang-orang yang menyelisihi ahlus sunnah adalah ahlul ahwa` yang mengikuti hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan bahwa umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari tujuh puluh tiga golongan, hanya satu yang selamat. Mereka itu adalah yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Oleh karenanya, mereka pun dikenal dengan sebutan ahlus sunnah. Adapun yang selain mereka adalah orang-orang sesat yang dicap sebagai ahlul ahwa` (pengekor hawa nafsu).
Hawa nafsu itu bisa berupa pemahaman atau syahwat. Pemahaman yang telah dikebiri oleh hawa nafsu akan menggelincirkan seseorang ke dalam pemikiran sesat yang menyimpang. Sementara syahwat yang telah dikuasai oleh hawa nafsu akan menjahtuhkannya ke dalam kemaksiatan yang nista. Na’udzu billahi min dzalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu).
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang dijauhkan dari kejahatan hawa nafsu. Wallahu a’lam bish shawab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan dalam hadits bahwa termasuk yang dikhawatirkan atas umatnya adalah ‘hawa nafsu yang bisa menyesatkan’. Sudah berapa banyak, kalau kita mau menghitung, orang-orang yang menjadi korban hawa nafsu.
Sebagai bukti autentik yang bisa kita ungkap yaitu keberadaan ahlus sunnah yang demikian sedikit. Realita ini menandaskan bahwa yang selain ahlus sunnah dalam jumlah besar adalah orang-orang yang termakan oleh hawa nafsu. Namun kadar diantara mereka tentunya berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang banyak, dan ada pula yang sedikit.
Orang-orang yang menyelisihi ahlus sunnah adalah ahlul ahwa` yang mengikuti hawa nafsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan bahwa umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari tujuh puluh tiga golongan, hanya satu yang selamat. Mereka itu adalah yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya. Oleh karenanya, mereka pun dikenal dengan sebutan ahlus sunnah. Adapun yang selain mereka adalah orang-orang sesat yang dicap sebagai ahlul ahwa` (pengekor hawa nafsu).
Hawa nafsu itu bisa berupa pemahaman atau syahwat. Pemahaman yang telah dikebiri oleh hawa nafsu akan menggelincirkan seseorang ke dalam pemikiran sesat yang menyimpang. Sementara syahwat yang telah dikuasai oleh hawa nafsu akan menjahtuhkannya ke dalam kemaksiatan yang nista. Na’udzu billahi min dzalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu).
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang dijauhkan dari kejahatan hawa nafsu. Wallahu a’lam bish shawab.
Hikmah Ramadhan
Perjalanan
waktu terus berlangsung. Tanpa terasa sekian ramadhan telah dilewati. Ini
membuktikan bahwa masa sudah saling berdekatan sebagaimana yang di beritakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangkali sebagian kita telah melalui
ramadhan selama enam puluh tahun, ada pula yang lima puluh tahun, empat puluh tahun,
tiga puluh tahun, dua puluh tahun, atau lebih maupun kurang. Namun apa hasil
yang sudah kita raih untuk kebaikan agama dan akherat kita. Sudahkah tempaan
bulan suci ramadhan mampu meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah.
Atau masihkah tingkah laku kita sama dengan masa sebelumnya bahkan malah lebih
parah. Kita memohon kepada Allah ampunan dan rahmat-Nya.
Wahai segenap kaum muslimin, marilah kita merenungi Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berikut ini, (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang –orang yang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa (kepada Allah)”. (Al Baqarah: 183)
Wahai segenap kaum muslimin, marilah kita merenungi Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berikut ini, (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang –orang yang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa (kepada Allah)”. (Al Baqarah: 183)
Apabila
bertakwa kepada Allah menjadi tujuan yang utama dalam melaksanakan puasa ramadhan
berarti pemenangnya adalah orang yang berhasil meningkatkan mutu ketakwaannya
selepas bulan yang suci ini. Tentu sangat ironis, jika seorang yang berpuasa di
bulan ramadhan justru lebih jauh dari Allah pada bulan-bulan yang berikutnya.
Bahkan merupakan kesalahan yang besar bila seorang yang berpuasa mau menahan
diri dari hawa nafsu dan syahwat hanya dalam bulan suci ramadhan dan tak
lebih dari itu. Semestinya, fenomena rasa antusias yang sedemikain tinggi untuk
melaksanakan ibadah dan menjauhi kemaksiatan dalam bulan suci ramadhan bisa
ditularkan pada perputaran waktu yang selanjutnya.
Wahai
segenap kaum muslimin, marilah kita menghilangkan dari benak kita asumsi bahwa
ramadhan hanya sekadar seremonial ritual agama yang di gelar karena adat
istiadat umat islam. Selepasnya, kita kembali kepada kemerosatan keyakinan dan
moral yang sudah berlangsung sebelumnya dengan sangat parah dan
rendah.
Marilah kita menjadikan ramadhan sebagai pendidikan spiritual yang
mampu membentuk kita sebagai manusia-manusia berkualitas di mata Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Wahai
segenap kaum muslimin, sesungguhnya bulan suci ramadhan ini mengandung berbagai
pelajaran dan hikmah yang cukup banyak. Ibarat buah yang sudah ranum diatas pohonnya
dan hanya tinggal menanti siapa yang datang untuk memetiknya. Dalam tulisan
yang ala kadarnya ini, kami mencoba untuk menyuguhkan sebagian pelajaran dan
hikmah bulan suci ramadhan bagi para pembaca yang budiman, dengan harapan
semoga Allah memberkati kehidupan kita dari waktu ke waktu yang kita lalui,
sehingga kita menjadi semakin baik dan lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
1.Berpuasa
Berpuasa
adalah syariat dahulu kala yang diwarisi oleh para nabi dan rasul sampai kepada
nabi kita Muhammad shallahu ‘alihi wasalam. Berpuasa menyimpan keberkatan dan
kemanfaatan yang banyak sekali, baik dari sisi agama maupun kehidupan. Oleh
karena itu, islam mensyariatkan amalan yang mulia ini bukan hanya pada bulan
suci ramadhan. Selain puasa ramadhan disana masih terdapat puasa-puasa yang
lainnya, Ada yang wajib dan ada pula yang sunnah. Yang wajib, misalnya
seperti puasa qadha`, puasa kaffarah, dan puasa nadzar. Adapun yang sunnah,
misalnya seperti puasa nabi Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka,
Puasa hari senin dan kamis, puasa hari-hari putih yaitu tanggal tiga belas,
empat belas, dan limas belas dari setiap pertengahan bulan hijriyah dan lain
sebagainya.
Berpuasa
disyariatkan oleh Allah melalui Rosul-Nya adalah dalam rangka meningkatkan mutu
ketakwaan kita. Disamping itu, berpuasa dapat menghindarkan kita dari segala
gejolak hawa nafsu dan syahwat yang menyesatkan. Singkatnya, dengan berpuasa,
kita bisa menyelamatkan diri dari amukan api neraka. Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, (yang artinya):
“Berpuasa
itu adalah tameng yang dengannya seorang hamba bisa membentengi diri dari
amukan api neraka”. (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang selain keduanya,
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad yang hasan)
Ya,
berpuasa adalah tameng yang membentengi kita dari amukan api neraka. Bagaimana
tidak? Dengan berpuasa, kita telah menutup pintu-pintu syaithan yang berada
dalam tubuh kita. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (yang
artinya):
“Sesungguhnya
syaithan itu mengalir pada diri seorang anak Adam laksana aliran darah”. (HR.
Al Bukhari dan Muslim dari Shafiyyah radhiyallahu ‘anha)
Maka
dengan berpuasa, kita telah menutup pintu syaithan untuk menyelusup ke dalam
diri kita. Sebab kita telah meninggalkan makan, minum, dan syahwat kita selama
berpuasa karena Allah. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman, (yang
artinya):
“Setiap
amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu
adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan makan, minum,
dan syahwatnya karena Aku”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Wahai
segenap kaum muslimin, ketahuilah, bahwa lambung yang penuh merupakan sarang
syaithan yang paling kotor. Dari lambung yang penuh itu, dia akan menggoda
seorang manusia untuk durhaka kepada Allah. Seorang hamba yang lambungnya penuh
memiliki tenaga, kekuatan, daya, dan potensi yang cukup besar untuk berbuat apa
saja. Maka syaithan menggunakan peluang emas ini untuk menggodanya agar
memuaskan segenap hawa nafsu dan syahwat dunia yang diinginkannya tanpa harus
memperdulikan syariat Allah. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin mampu
mengendalikan berbagai dorongan hawa nafsu dan syahwat kesenangan dunia yang
sedang bergejolak hebat dalam dirinya, maka hendaklah dia berpuasa. Maka dengan
berpuasa, dia akan terbebas dari segala ajakan hawa nafsu dan syahwat yang bisa
menjerongkokkannya ke dalam berbagai lembah hitam yang rendah lagi nista.
Termasuk syahwat dunia yang bisa dia redam dengan berpuasa adalah syahwat
terhadap wanita-wanita yang diharamkan atasnya. Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, (yang artinya):
“Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu, maka
hendaklah dia segera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan
pandangannya dan menjaga kehormatannya, dan barangsiapa yang belum mampu, maka
hendaklah dia berpuasa, karena yang demikian itu buat dirinya adalah tameng”.
(HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Betapa
banyak para pria yang terjungkal ke dalam lembah neraka jahannam disebabkan
oleh fitnah wanita. Intinya, bahwa berpuasa adalah senjata ampuh guna meredam
dan mengendalikan hawa nafsu dan syahwat yang durjana. Jika kita telah
mengetahui hal ini, maka berpuasa bukan hanya amalan rutinitas pada bulan suci
ramadhan. Akan tetapi lebih daripada itu, berpuasa adalah kebutuhan rohani yang
semestinya ditunaikan sesuai prosedur syariat islam yang benar demi menggapai
kebaikan dunia dan akherat, sehingga kita menjadi manusia-manusia yang lebih
bertakwa dan berkualitas di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish
shawab.